Wajah Suram Sepakbola Nasional


Kostum berwarna merah menjadi atribut wajib bagi setiap suporter yang datang untuk mendukung tim "Garuda." Tak sia-sia, Firman Utina dkk pun bermain garang, menghancurkan lawan-lawan mereka di babak penyisihan grup. Permainan gemilang tim Garuda bahkan mengantarkannya sampai ke babak puncak, meski akhirnya gagal menjadi yang terbaik. Dahaga masyarakat akan sebuah gelar masih belum bisa diobati.

Namun, prestasi bagus yang ditorehkan Timnas Indonesia belum sebanding dengan kinerja sang induk organisasi sepakbola Indonesia (PSSI). Di saat timnas dielu-elukan penampilannya, PSSI sebagai panitia turnamen di Indonesia justru mendapat sorotan berbeda. Kekisruhan demi kekisruhan justru terjadi sepanjang penyelenggaraan Piala AFF.

Petasan dan kembang api--yang sudah barang tentu melanggar peraturan pertandingan internasional--mewarnai setiap laga di stadion. Seperti tak bisa dicegah, pelanggaran ini seperti terus hadir sepanjang turnamen. Tak ayal, Federasi Sepakbola Asia (AFC) sempat mengancam memindahkan turnamen dari Gelora Bung Karno.

Yang paling memprihatinkan adalah karut-marut pendistribusian tiket Piala AFF kepada masyarakat yang ingin mendukung langsung perjuangan Tim Merah Putih. Antusiasme yang tinggi dari pecinta sepakbola di Tanah Air tak mampu diakomodasi panitia dan PSSI. Selain harga tiket yang semakin melonjak masyarakat disulitkan dengan prosedur berbelit-belit untuk mendapatkan tiket.

Berjam-jam, bahkan berhari-hari, penggila bola harus mengantre. Meski begitu, tidak ada jaminan mereka dapat memperoleh selembar tiket. Bahkan meski sudah membayar, tiket masih belum bisa digenggam. Amarah pun tak terhindarkan.

Puncaknya saat pembelian tiket final Tim Garuda melawan Tim Malaysia. Calon penonton mengamuk. Mereka khawatir tak mendapat tiket karena loket tak kunjung dibuka. Properti Gelora Bung Karno pun dirusak massa yang kalap.

Belum lagi aksi para calo tiket yang mencuri kesempatan, "mencekik" para pencari tiket. Di tengah kekalutan berupaya memperoleh tiket, tiket palsu pun beredar. Ini semakin memperkeruh suasana. Penyelenggara pertandingan pun jadi sasaran.

Awan kelabu yang terus menggelayuti persepakbolaan Tanah Air dan Timnas Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir, tak pelak membuat penggila bola kecewa.

Jangankan bicara tingkat dunia, prestasi yang ditorehkan untuk kawasan Asia Tenggara saja, Timnas Indonesia paling banter hanya menduduki posisi runner-up.

Pelit dalam prestasi internasional ini membuat kinerja PSSI semakin disorot. Sorotan yang paling mengemuka jatuh pada sang Ketua Umum Nurdin Halid yang pernah jadi terpidana kasus korupsi. Meski sudah menjabat selama tujuh tahun, Nurdin belum juga bisa memperbaiki kegagalan demi kegagalan yang dialami timnas.

Sebagian pihak menganggap tenggelamnya prestasi timnas disebabkan adanya problem di kepengurusan internal PSSI. Salah satunya, mekanisme kongres yang selama ini dijalankan untuk memilih petinggi di PSSI dinilai berjalan tidak sehat. Kompetisi lokal yang diselenggarakan PSSI pun dinilai setali tiga uang.

Inilah yang kemudian mengusik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ICW untuk menelisik adanya praktik korupsi di PSSI. PSSI yang merupakan badan publik selayaknya transparan dalam hal pengelolaan keuangan. ICW juga menyoroti pemberian subsidi terhadap klub-klub peserta Liga Super Indonesia dari APBD untuk kelangsungan klub tersebut di liga. Subsidi dari APBD ini belakangan menimbulkan pro dan kontra.

Kucuran dana APBD kepada klub-klub jumlahnya cukup fantastis. Belasan hingga puluhan miliar setiap musimnya. Tiap daerah merogoh kas masing-masing untuk tetap membuat klub lokal tetap "berdenyut."

Temuan ICW soal pengucuran dana APBD di Semarang untuk klub PSIS, misalnya. Pada 2006, ICW menunjukkan, kucuran dana untuk sepakbola di kota ini jauh melampaui kucuran dana untuk perbaikan gizi masyarakat dan pendidikan. Sayangnya, jumlah yang sangat besar tersebut tak diimbangi kemajuan kualitas sepakbola secara signifikan.

Problem-problem itulah yang menjadi akar masalah munculnya kompetisi liga lain di luar PSSI yang menaungi Liga Super Indonesia (LSI). Ketidakpuasan terhadap PSSI akhirnya membuat beberapa klub LSI lebih memilih kompetisi lain di luar PSSI.

Ibarat menampar wajah PSSI, tendangan pertama di Liga Primer Indonesia (LPI) akhirnya dilaksanakan lewat laga perdana antara Solo FC vs Persema Malang di Stadion Manahan, Sabtu (8/1). Sembilan belas klub dipastikan berlaga di liga yang mengharuskan setiap klub pesertanya ini tampil tanpa sepeser pun dana APBD alias profesional.

Liga yang disokong pengusaha Arifin Panigoro ini bahkan berhasil menarik empat klub yang sebelumnya berkompetisi di LSI. Persema Malang, Persibo Bojonegoro, PSM Makassar, dan Persebaya menyatakan menarik diri dari LSI. Beberapa klub memang mengaku kecewa dengan liga yang diselenggarakan PSSI. Bagaimana pun mayoritas klub yang bertahan di LSI punya pandangan berbeda.

Kendati begitu, aral berulang kali dihadapi penyelenggara LPI. PSSI sebagai induk olahraga sepakbola menolak memberikan rekomendasi kepada LPI. PSSI bahkan menganggap LPI "liar." Berbagai upaya pun dilakukan PSSI untuk membatalkan gelaran LPI. Salah satunya meminta kepolisian tidak mengeluarkan izin pertandingan. Tapi di saat "injury time" polisi tetap mengizinkan LPI digelar. Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang diberi kewenangan oleh pemerintah juga merestui liga ini.

Tak ayal, Liga Primer membuat PSSI seperti kebakaran jenggot. Menggunakan dasar UU Sistem Keolahragaan Nasional, PSSI bersikeras tak akan melegalkan LPI.

Masalah semakin meruncing saat PSSI mengancam tidak akan menggunakan pemain-pemain yang berlaga di LPI untuk bermain di timnas. Padahal salah satu pemain yang berlaga di LPI adalah bintang baru yang tengah bersinar di Tim Garuda, Irfan Bachdim. Kesempatan bagi para pemain yang berlaga di LPI untuk bermain di timnas semakin menyempit saat Pelatih Timnas Indonesia Alfred Riedl belakangan juga menegaskan tak akan memanggil pemain yang berlaga di LPI.

Kondisi ini tentu sangat merugikan dunia persepakbolaan Indonesia. Belum lagi rencana PSSI untuk mengadukan LPI ke FIFA yang bisa saja berujung dengan dihukumnya timnas, tidak bisa bermain di laga internasional.

Memanasnya suhu persaingan antara PSSI dan LSI mau tak mau membuat Menpora dan juga anggota dewan angkat bicara. Pihak LPI sendiri mengaku sudah mengajukan bentuk kerjasama dengan PSSI untuk meredakan suasana. Selayaknya pertikaian ini disikapi secara arif demi kemajuan sepakbola nasional. (CHR/YUS)

Artikel Terkait:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.