Problem Sepakbola Tahun 2011

Artikel ini saya kutip dari Sumber
Perubahan. Tahun 2011 adalah tahun perubahan bagi sepakbola nasional. Gelombang baru telah datang. Tanda-tandanya telah tumbuh di tahun 2010 dan bakal menyeruak untuk mewarnai momen-momen penting di tahun 2011.

Perubahan. Siapapun tahu, perubahan (seperti juga revolusi) kerapkali memakan anak kandungnya sendiri. Maka banyak orang menghadapi perubahan dengan sikap gamang.

Perubahan bisa pula gagal. Di ranah politik, kegagalan perubahan sungguh sangat sering terjadi. Sering berulang. Kita ingat, perubahan yang didengungkan PKI di tahun 1960-an: gagal total. Reformasi di tahun 1998 juga tidak sepenuhnya sukses.

Nah, kegagalan perubahan pun bisa terjadi pada ranah sepakbola. Dan begitulah, bayang-bayang kegagalan itu membuat beberapa orang jadi gamang. Sebab perubahan dapat membawa korban. Dan itu sangat pedih. Sehingga orang-orang gemar bersandar pada status quo. Mungkin mereka berpendapat, daripada bersandar pada angin akan lebih realistis bersandar pada tembok. Bersandar pada yang pasti-pasti saja. Jika ini yang jadi pilihan, perubahan sudah mati sebelum terealisasi. Kalah sebelum bertanding.

Padahal, pada situasi tertentu, perubahan (secara alamiah) tak bisa dihindari. Mungkin ia bisa ditunda, diundur satu atau dua jengkal. Tetapi ia sama sekali tak bisa dihentikan. Nah, sepakbola nasional sedang dalam situasi tersebut. Meminjam istilah zaman orde lama, sepakbola nasional sedang hamil tua.

Di tahun 2011, tahun perubahan ini, setidaknya ada 3 indikasi urgen. Pertama soal Liga Primer Indonesia (LPI). Kedua soal naturalisasi pemain. Ketiga soal Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Ketiganya telah tumbuh dan merebak di tahun 2010. Kini, ketiganya bakal menyeruak dan mewarnai momen-momen penting bagi masa depan sepakbola nasional.

Liga Primer Indonesia

Januari tanggal 8 ini, kalau tidak mundur lagi, kompetisi LPI bakal dimulai. Jika sesuai dengan yang dicanangkan, kualitas iklim sepakbola nasional dipastikan melonjak tajam.

Klub menjadi lebih profesional. Ketergantungan dari birokrasi pemerintahan ditepis dan jeratan dana APBD dihilangkan. Manajemen klub sepenuhnya swasta dan berorientasi pada prestasi. Tingginya prestasi inilah yang akan ditawarkan kepada sponsor untuk meraup pemasukan.

Obsesi LPI untuk berkembang terlihat amat besar. Lihat saja, LPI mendatangkan pemain-pemain mahal. Salah satunya yang dikontrak sebesar Rp 3 miliar. LPI mendatangkan pelatih-pelatih hebat. Salah satunya yang telah membesarkan bintang Madrid Kaka. Mereka juga berkeras hati menyokong lahirnya belasan klub baru.

Tetapi hitungan di atas kertas dan hitungan di realitas bisa berbeda jauh. Faktanya, sampai satu minggu jelang digulirkan, LPI belum mendapat legalitas. FIFA belum memberi sinyal positif dan PSSI terang-terangan menolak. Lebih dari itu, LPI mendapat ancaman serius dari PSSI. Berulangkali PSSI mengancam akan memberi sanksi terhadap siapapun yang terlibat dalam kegiatan LPI.

Kasus PSM Makassar bisa dijadikan contoh. Akibat bergabung dengan LPI, nasib klub papan atas ISL itu kian runyam. Beberapa pemain memilih mengundurkan diri. Manajemen terbelah dua. Ketua umum memaksa bergabung ke LPI sedangkan ketua harian memaksa mengambil alih untuk tetap berlaga di ISL. Kasus yang hampir sama terjadi pada Persibo. Kasus lebih parah terjadi pada Persebaya.

Saat ini, jangankan menjalankan kompetisi yang lancar dan profesional, klub LPI itu membuat laga uji coba saja susah. Terbukti laga pra musim LPI yang sedianya digelar di Surabaya tiba-tiba dipindahkan. Laga uji coba Persebaya melawan Persibo mendadak batal karena tidak memperoleh izin dari Polda Jatim.

Publik sepakbola menunggu jurus-jurus maut dari manajemen LPI. Bagaimanakah memanfaatkan waktu yang mepet agar kompetisi bisa terrealisasi tanggal 8 Januari. Mungkin saja manajemen LPI melobi langsung ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mungkin saja LPI tiba-tiba mendapat izin dari FIFA. Mungkin saja PSSI melunak. Sungguh, publik bola tidak tahu pasti. Publik hanya bisa menunggu.

Mungkin pula LPI tetap seperti sekarang, yakni dianggap ilegal oleh PSSI. Jika sampai 8 Januari tetap ilegal, kompetisi bisa dipastikan tidak bergulir lancar. Perizinan dari pihak kepolisian pasti sulit didapat. Pemain juga tidak bisa berorientasi masuk tim nasional (timnas).

Kemungkinan paling buruk, LPI bakal bubar. Jika ini yang terjadi, sungguh, energi besar yang keluar selama tahun 2010 menjadi sia-sia. Padahal LPI terlanjur melibatkan banyak orang, banyak pihak, banyak dana, dan banya konflik. Jadi pilihannya hanya satu, LPI pantang mundur!

Pemain Naturalisasi

Di penghujung tahun 2010, satu peristiwa besar telah terjadi. Peristiwa itu terkait keikutsertaan timnas di ajang Piala AFF. Timnas nyaris merebut juara. Sayangnya gagal karena kalah agregat gol dari timnas Malaysia. Tetapi, bukan hasil itu yang perlu dicermati. Antusiasme masyarakat terhadap sepakbola tiba-tiba melambung tinggi. Perempuan-perempuan yang biasanya jarang bersinggungan dengan sepakbola mendadak beramai-ramai datang ke stadion Gelora Bung Karno Jakarta. “Dukung timnas,” katanya.

Tidak hanya perempuan biasa, artis-artis papan atas pun turun bergerombol bersama suporter. Mereka berteriak-teriak lantang, sekali lagi, mendukung timnas. Sedangkan di luar lapangan, pemain timnas bolak balik disanjung di televisi layaknya selebriti. Bukan hanya pemain, hampir tiap hari, istri dan pacar pemain diwawancarai presenter televisi. Sungguh, ini momen yang tidak biasa.

Rupanya, magnet dari semua itu adalah sosok Irfan Bachdim. Pemain keturunan Indonesia-Belanda ini mampu menyerobot perhatian publik non bola. Memang, Irfan punya segalanya untuk menjadi bintang idola. Dia ganteng, dia punya skill bagus, dia punya pacar model, dan dia warga keturunan.

Bermula dari kekaguman pada Irfan, publik non bola atau suporter dadakan itu mulai mencintai pemain-pemain timnas lainnya. Mulai mencintai Cristian Gonzales, mulai kagum pada kelincahan Okto, mulai hormat pada kepemimpinan Firman Utina, dan terakhir terpesona oleh mobilitas permainan Bustomi.

Namun di balik munculnya suporter-suporter dadakan, program naturalisasi dan program pengikatan pemain keturunan membawa risiko lain bagi perkembangan sepakbola nasional. Saat ini, ada dua pemain keturunan dan ada satu pemain naturalisasi. Irfan Bachdim, Kim Kurniawan, dan Cristian Gonzales. Dalam waktu dekat, PSSI berjanji menaturalisasi satu lagi pemain keturunan.

Risiko buruknya, ini merupakan program instan. PSSI ingin agar timnas segera meraih sukses dengan cara mengambil pemain-pemain impor. Mengapa impor? Ya karena mereka tidak lahir dari tradisi pembinaan di tanah air. Mereka bukan berasal dari SSB milik Persebaya, Persija, Persib, maupun Persipura. Mereka berasal dari tradisi klub-klub Eropa.

Seorang teman pernah bilang, tidak ada cara instan yang meraih sukses besar kecuali korupsi. Lazimnya, sukses besar dihasilkan dari usaha bertahap-tahap. Perjuangan tak kenal lelah. Itu seperti yang ditunjukkan oleh timnas Malaysia. Mereka bisa juara Piala AFF berkat pembinaan bertahun-tahun.

Itu artinya, program naturalisasi dan impor pemain keturunan bukanlah jawaban tepat bagi mandegnya prestasi timnas. Bila hanya untuk sesaat, bisa saja menghasilkan permainan bagus. Namun untuk jangka panjang, program tersebut tampaknya jauh panggang dari api. Tidak tepat sasaran. Justru sebaliknya, PSSI terkesan meremehkan pembinaan internal tiap klub di tanah air.

Saat ini ada Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan yang permainannya mengagumkan. Tidak bisa dipastikan mereka bakal stabil ketika sudah membaur dengan pemain-pemain lokal dalam ajang kompetisi reguler. Apalagi kalau praktik kotor masih melekat dalam iklim Superliga. Bisa-bisa, potensi keduanya justru semakin pudar. Kasus ini pernah terjadi pada pemain-pemain Primavera di era 1990-an awal.

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia

PSSI memang harus membenahi sistem kompetisi yang amburadul. PSSI harus pula serius memerangi praktik suap terhadap wasit. Sebab, kinerja wasitlah yang kerap memicu kerusuhan di lapangan. Penalti-penalti yang “aneh” sudah selayaknya dicermati ulang. Harus dibentuk tim investigasi.

Lebih dari itu, PSSI harus membenahi internal dirinya. Dalam momen Piala AFF, teriakan “Nurdin Turun” tidak bisa diatasi dengan jawaban “Ada Provokator”. Bukan, bukan sekadar itu jawabannya.

Teriakan itu begitu menggema. Ribuan orang yang melafalkannya. Sebab, tidak ada asap bila tidak ada api; teriakan itu tentu bersumber pada buruknya kinerja Nurdin Halid dalam memimpin institusi sepakbola tertinggi di tanah air. Pembuktiannya gampang, yakni prestasi timnas dan buruknya sistem kompetisi.

Bahkan sebelum laga Piala AFF, teriakan “Nurdin Turun” berulangkali menggema di pertandingan kompetisi Superliga. Sebuah teriakan yang mengalir dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, menyebar rata di hampir seluruh penjuru tanah air. Suatu kali, di dekat Stadion Gelora Bung Karno, seseorang membeli kaos timnas. Kepada penjualnya dia bilang, “Mas, minta kaos timnas yang tanpa tulisan dan logo PSSI.” Ironis.

Januari ini, mungkin diundur, PSSI berencana menggelar kongres. Momen ini sangat tepat untuk Nurdin Halid mengundurkan diri. Nurdin tidak perlu menunggu anggota PSSI memintanya mundur. Sungguh tidak perlu. Orang sudah paham, mayoritas anggota PSSI adalah orang-orang yang setia kepada Nurdin. Kongres di Malang tahun lalu bisa dijadikan bukti. Toh, Nurdin telah dicalonkan untuk menjadi exco AFC. Bahkan, dia calon tunggal. Apa susahnya meninggalkan PSSI.

Namun sebenarnya, mundurnya Nurdin dari PSSI bukan jawaban final atas kritik publik bola. Publik membutuhkan pembenahan sistem dalam PSSI. Itu artinya, mundurnya Nurdin dipakai untuk simbol dari perubahan sistem PSSI dan sistem persebakbolaan nasional.

Tahun 2011 ini, perubahan pasti terjadi. Entah menuju pada situasi yang pelik atau sebaliknya. Namun, rakyat Indonesia merindukan prestasi sepakbola nasional. Untuk itu, perubahan diharapkan bergerak ke arah yang lebih baik. Semoga kompetisi Superliga lancar, semoga kompetisi LPI lancar, dan semoga timnas juara Sea Games. Amin. [but]

Artikel Terkait:

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.