Pemain PSIS Semarang, Heri Susilo. ANTARA/R. Rekotomo
TEMPO Interaktif, Jakarta - Klub-klub sepak bola masih menggantungkan diri pada anggaran pendapatan dan belanja daerah. "Belum bisa serta-merta disetop. Apalagi regulasi memperbolehkan," kata Soemarmo Hadi Saputro, Ketua Umum PSIS Semarang, kemarin. Wali Kota Semarang itu mengatakan PSIS masih mendapat Rp 5 miliar dari APBD untuk berlaga di Divisi Utama Liga Indonesia musim ini.
Penyaluran APBD ke klub profesional masih diperbolehkan oleh Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 426 Tahun 2010. Tapi surat edaran menteri itu sudah didesak untuk dicabut, antara lain oleh koalisi reformasi sepak bola nasional, Save Our Soccer. Koalisi menilai kucuran APBD untuk klub sepak bola tidak tepat sasaran dan rawan penyimpangan.
Pemerintah, melalui Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai, juga sudah setuju dengan ide penghentian dana APBD untuk klub. "Pemerintah butuh setidaknya dua tahun untuk mengevaluasi dan membuat kerangka regulasi," katanya pada Ahad lalu.
Saat ini mayoritas klub di bawah naungan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) masih bergantung pada APBD. Dari 15 klub Liga Super Indonesia, misalnya, baru empat yang bebas dari dana rakyat itu, yakni Arema, Persib Bandung, Pelita Jaya, dan Semen Padang. Klub lainnya mendapat dana Rp 5-25 miliar semusim.
Salah satu di antaranya Sriwijaya FC, yang sudah mendapat dana Rp 15 miliar. Augie Bunyamin, Direktur Keuangan PT Sriwijaya Optimis Mandiri (pengelola Sriwijaya FC), mengatakan butuh tiga tahun lagi bagi klub itu untuk sepenuhnya lepas dari dana APBD.
Achasanul Qosasi, Bendahara PSSI, mengakui saat itu sulit bagi klub untuk mandiri secara finansial. "Kalau penjualan tiket pertandingan bisa menutup kebutuhan klub, barulah bisa mandiri," kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Demokrat itu.
Dia menambahkan, aliran APBD ke klub karena gengsi daerah. Mereka ingin klub daerahnya berprestasi, sehingga mereka mencari pemain bagus yang harganya tinggi. Bila APBD ke klub itu terus menjadi polemik, ia menyarankan terobosan baru. "Cara ideal adalah mengajak BUMN (badan usaha milik negara) menjadi bapak angkat klub."
George Handiwiyanto, mantan Manajer Deltras dan Persebaya Surabaya, mengatakan setiap klub butuh sekitar Rp 10 miliar untuk satu musim kompetisi. "Dana sebesar itu bisa dicari asal pengurusnya mau bekerja keras," katanya.
Handoyo, Brand Manager PT Djarum (sponsor yang musim ini mengucurkan Rp 40 miliar untuk Liga Super Indonesia), menyatakan besarnya daya beli masyarakat pencinta sepak bola seharusnya jadi ladang bagi klub. "Harusnya klub bisa hidup dari fans dan juga iklan. Klub harus kreatif," ujarnya. "Klub-klub di Inggris dan Spanyol bisa hidup tanpa bantuan dana dari pemerintah."
Klub-klub di bawah naungan PSSI tampaknya perlu belajar kepada Liga Primer Indonesia (LPI), kompetisi baru yang dianggap ilegal oleh PSSI. Untuk memutar
kompetisi 19 klub yang sepenuhnya bebas dari dana APBD itu, LPI menyediakan modal Rp 400 miliar. Mereka pun berani menargetkan laba Rp 100 miliar pada tahun pertamanya. "Itu didapat dari sponsor, nilai hak siar televisi, penjualan tiket dan memorabilia," kata juru bicara LPI, Abi Hasantoso.
Penggagas Liga Primer, Arifin Panigoro, sebelumnya mengatakan potensi bisnis sepak bola Indonesia bisa mencapai Rp 3,3 triliun dalam semusim. Angka itu didapat dari hasil kajian Repucom, perusahaan survei dan valuasi independen, yang menghitung bahwa satu pertandingan yang melibatkan klub besar bisa bernilai Rp 10 miliar. Padahal dalam semusim ada sekitar 306 pertandingan.
Klub Sepak Bola Enggan Lepas Dana APBD
Klub Sepak Bola Enggan Lepas Dana APBD
2011-01-18T04:08:00-08:00
Unknown
Berita Olah Raga Indonesia|Berita Sepak Bola Indonesia|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)